
Dunia Kata yang Terus Bergerak
Kata-kata tak lagi sekadar rangkaian huruf. Di tangan yang tepat, ia bisa menjadi penggerak: membentuk opini, mengubah perilaku, bahkan menghidupkan brand.
Dua sosok di balik dunia ini, Bala dari Pontinesia dan Onah dari DNA Indonesia, membuktikan bahwa “menulis” bukan sekadar pekerjaan, tapi perjalanan dari ruang redaksi hingga layar TikTok.
Pontinesia – Bala: Bermain Kata seperti di Media-media
“Biarkan tulisan itu buruk. Nanti akan ada waktu untuk mengedit.”
Berawal dari dunia jurnalisme, Bala terbiasa menulis cepat, berpikir kritis, dan yang paling penting, mendengar.
Menjadi wartawan bukan sekadar menulis berita, tapi juga belajar mengobservasi, memverifikasi, dan berempati pada cerita orang lain.
Kini, saat berpindah haluan ke dunia brand, kemampuan itu berevolusi menjadi tiga fase bercerita:
Bala percaya, storytelling bukan sekadar teknik, melainkan seni menyampaikan pesan melalui pengalaman dan emosi.
Unsur yang Membuat Cerita Hidup
Menurut Bala, cerita yang kuat selalu punya DNA sendiri, bukan dari gaya bahasa, tapi dari struktur yang menyentuh. Berikut unsur pentingnya:
Storytelling, baginya, penting karena:
Namun banyak yang gagal karena cerita mereka terlalu panjang, tidak fokus, dan tidak menyentuh emosi. Padahal, cerita yang menyentuh selalu tahu “jalan mana yang membawa pembacanya bertemu takdir. Bala pun menyarankan beberapa framework storytelling seperti Hero’s Journey (Simplified), Curiosity Bridge, Kontras & Paradoks, hingga Open Loop.
DNA Indonesia – Onah: Drama Copywriting dan Cara Ngalahinnya
Tahun 2022, Onah memulai kariernya di dunia copywriting lewat jalur magang. Awalnya, semua tulisan terasa sama, content writer atau copywriter, bedanya apa? Sampai akhirnya, sebuah tawaran freelance di DNA Indonesia membuka jalan baru. Setelah enam bulan, ia resmi direkrut jadi copywriter penuh waktu. Dari situ, mulailah bab “drama copywriting” versi nyata.
Empat hal yang paling sering ia hadapi:
Bertarung dengan Algoritma dan Identitas Brand
Bayangkan harus menulis untuk 8–10 brand sekaligus, masing-masing dengan karakter berbeda. Dari sini, Onah belajar satu hal penting: “Copywriter itu bukan cuma menulis, tapi menciptakan identitas.” Ketika pertama kali menangani konten TikTok, ia mencoba metode ATM (Amati, Tiru, Modifikasi). Namun hasilnya timpang, engagement tak seimbang, performa konten naik-turun. Dari pengalaman itu, ia menemukan kuncinya: “Konsisten di satu segmen dan style selama 2–3 bulan, plus konten evergreen.” Bukan sekadar tren, tapi sustainability content.
Onah juga menekankan pentingnya riset ide, membangun bank ide, dan tahu kapan storytelling bisa menjadi bumbu yang pas dan tidak semua brand cocok dengan gaya dramatis.
Cerita yang Berakar pada Empati
Keduanya sepakat: inti dari semua tulisan tetaplah manusia. Baik Pontinesia maupun DNA menekankan pentingnya riset audience, observasi, dan empati. Untuk instansi pemerintahan atau NGO, tantangannya bukan hanya membuat orang membaca, tapi membuat mereka peduli. Bala menegaskan, “Kalau kita ingin membuat orang membaca, buat mereka merasa dilihat.” Sedangkan Onah menambahkan, Hook itu bukan tentang clickbait. Tapi bagaimana kalimat pertama membuat pembaca merasa, ‘ini tentang gue.’
Key Takeaways - Menulis Bukan Sekadar Bekerja, Tapi Bertumbuh
Baik dari ruang redaksi maupun layar TikTok, keduanya sama-sama belajar bahwa kata bisa menggerakkan. Tulisan bisa jadi alat refleksi, jembatan empati, dan penghubung makna antara manusia dan brand.